KONFLIK BERSENJATA: Seorang pria duduk terpekur di tengah kehancuran menyusul serangan Israel di kamp Al Shatee di Kota Gaza pada 28 Oktober 2023 -Foto dok internasional.kompas.com |
RILISKALIMANTAN.COM, GAZA - Usulan solusi dua negara untuk menyelesaikan konflik Palestina pertama kali muncul tahun 1937 dalam Laporan Komisi Peel. Secara sederhana, solusi dua negara adalah pembentukan negara Palestina di samping negara Israel yang telah ada.
Komisi Peel dibentuk Pemerintah Inggris tahun 1936 untuk menyelidiki penyebab kerusuhan antara warga Arab-Palestina dan orang-orang Yahudi di wilayah yang saat itu dikenal sebagai Palestina. Palestina ketika itu berada di bawah Inggris berdasarkan mandat dari Liga Bangsa-Bangsa.
Nama resmi komisi itu adalah Palestine Royal Commission. Komisi tersebut dipimppin Lord Robert Peel. Karena itulah namanya kemudian lebih dikenal sebagai Komisi Peel. Komisi itu menghasilkan laporan pada tahun 1937 yang terkenal dengan nama "Laporan Peel".
Kerusuhan
Kekacauan di Palestina meningkat setelah tahun 1920, ketika Konferensi San Remo memberikan mandat kepada Pemerintah Inggris untuk mengontrol Palestina. Dengan persetujuan resmi Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1922, mandat itu oleh Inggris diintegrasikan dengan Deklarasi Balfour tahun 1917.
Deklarasi Balfour adalah sebuah pernyataan yang dikeluarkan Pemerintah Inggris, yang menyatakan dukungan mereka untuk pembentukan "suatu tempat tinggal nasional bagi bangsa Yahudi" di Palestina. Di sisi lain, berdasarkan isi Deklarasi Balfour itu, Inggris hanya memberi dukungan pemeliharaan hak sipil dan agama (bukan hak politik atau nasional) bagi komunitas non-Yahudi Palestina.
Warga Arab-Palestina, yang menginginkan otonomi politik dan menentang imigrasi orang-orang Yahudi yang membanjiri Palestina, tidak setuju dengan mandat tersebut. Pada tahun 1936 ketidakpuasan berkembang menjadi pemberontakan terbuka.
Ketika itu orang-orang Yahudi berdatangan dari Eropa. Mereka lari dari Eropa karena ada kekerasan anti-Semit. Masuknya orang-orang Yahudi ke Palestina memicu ketakutan orang-orang Arab-Palestina akan dominasi Yahudi.
Itulah latar belakang Komisi Peel. Komisi itu dalam laporan menyatakan, koeksistensi orang Arab-Yahudi dalam satu negara tidak mungkin karena sikap bermusuhan yang akut. Tuntutan dua komunitas itu juga bertentangan. Keduanya ingin membangun negara di lokasi yang tumpang tindih.
Wilayah Tandus
Maka, Komisi Peel mengusulkan Palestina dibagi menjadi tiga zona: negara Arab-Palestina; negara Yahudi; dan wilayah netral di mana tempat-tempat suci berada, yaitu Yerusalem dan Betlehem.
Berdasarkan usulan tersebut, orang-orang Palestina mendapatkan tanah-tanah yang tandus, termasuk Gurun Negev, dan area yang saat ini dikenal sebagai Tepi Barat dan Jalur Gaza. Wilayah itu hanya memiliki sedikit sumber air dan kurang ideal untuk pertanian atau pengembangan ekonomi.
Sementara wilayah yang diusulkan untuk negara Yahudi mencakup daerah-daerah subur seperti Lembah Jezreel dan pesisir utara. Wilayah ini kaya air dan tanahnya yang lebih produktif. Sebagian besar garis pantai dan beberapa tanah pertanian paling subur di Galilea juga diberikan kepada orang Yahudi.
Kota Yerusalem dan Betlehem tidak masuk dalam wilayah yang dibagi. Kedua kota itu, beserta koridor yang menghubungkannya, menjadi zona internasional di bawah administrasi internasional karena signifikansi mereka bagi banyak agama dan komunitas.
Proposal itu menimbulkan kontroversi. Pasalnya, penduduk Palestina di wilayah yang diusulkan untuk menjadi negara Arab-Palestina berisiko mengalami kesulitan ekonomi karena terbatasnya sumber daya dan kemampuan tanah untuk mendukung kehidupan. Kebanyakan dari mereka bergantung pada pertanian, dan tanah yang kurang subur ini akan sangat memengaruhi kehidupan dan mata pencahariannya ke depan.
Kalangan Arab-Palestina menilai bahwa usulan itu tidak adil. Mereka merasa, sebagai penduduk mayoritas di wilayah tersebut mereka berhak mendapatkan tanah yang lebih subur dan lebih menguntungkan secara ekonomi. Usulan itu dianggap sebagai bentuk ketidakadilan yang menegaskan dominasi kolonial Inggris dan favoritisme terhadap pendatang Yahudi.
Karena itu komunitas Arab-Palestina menolak usulan tersebut.
Sebaliknya, sebagian besar komunitas Yahudi menerima proposal itu.
Usulan Komisi Peel memang akhirnya tidak diimplementasikan. Walau Pemerintah Inggris awalnya menerima proposal itu, tahun 1938 mereka mengakui bahwa pembagian itu tidak dapat dilaksanakan.
Sementara itu, perselihan antara kedua pihak terus berlanjut.
Usulan pembagian wilayah kembali diusulkan dalam Rencana Pembagian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1947. Rencana itu mengusulkan pembagian dalam tiga bagian. Yerusalem ditangani secara terpisah, di bawah kontrol internasional. Negara Yahudi akan mencakup wilayah di sepanjang pantai dari Tel Aviv ke utara, serta bagian dari Galilea. Sementa negara Arab-Palestina meliputi wilayah selatan dan barat Sungai Yordan, termasuk Gaza dan bagian dari pantai barat Laut Mati.
Dalam usulan itu, negara Yahudi akan mendapat 56 persen wilayah Palestina, meskipun orang-orang Yahudi hanya 31 persen dari populasi. Padahal di lapangan mereka hanya memiliki 20 persen tanah yang ada.
Warga Arab-Palestina menilai rencana pembagian itu sangat tidak adil. Komite Tinggi Arab, Liga Arab dan pemimpin serta pemerintah Arab lainnya, menolaknya dengan alasan bahwa orang Arab merupakan mayoritas, dua pertiga dari populasi. Karena itu harus memiliki sebagian besar tanah.
Mereka juga menunjukkan ketidakmauan untuk menerima bentuk pembagian wilayah, dengan berargumen bahwa hal tersebut melanggar prinsip-prinsip penentuan nasib sendiri berdasarkan Piagam PBB. Mereka mengumumkan niatnya untuk mengambil semua langkah yang diperlukan guna mencegah pelaksanaan resolusi itu.
Namun rencana itu diterima oleh Badan Yahudi untuk Palestina dan sebagian besar faksi Zionis yang melihat proposal itu sebagai batu loncatan untuk ekspansi wilayah pada waktu yang tepat.
Perang saudara kemudian pecah dan rencana tersebut tidak dilaksanakan. Israel menyebutnya sebagai perang kemerdekaan. Orang Palestina menyebutnya sebagai nakba (bencana).
Pasukan Zionis memukul mundur pasukan tidak teratur Palestina dan kontingen militer yang dikirim enam negara Arab untuk merebut lebih banyak wilayah daripada yang dialokasikan dalam Eencana PBB 1947.
Perang kemudian menentukan hasil di lapangan. Negara Israel berdiri tahun 1948. Wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza masing-masing berada di bawah kendali Yordania dan Mesir. Negara Palestina tidak terbentuk.
Lebih dari setengah rakyat Palestina melarikan diri dari rumah mereka ke negara tetangga dan ke Tepi Barat serta Jalur Gaza. Hal itu menciptakan krisis pengungsi yang besar.
Kebuntuan panjang berlangsung hingga tahun 1967, saat Israel merebut bagian yang tersisa dari tanah Palestina historis dari Yordania dan Mesir, serta Dataran Tinggi Golan dari Suriah dan Sinai dari Mesir dalam Perang Enam Hari.
Perang itu menandai titik balik dalam sejarah solusi dua negara. Sejak saat itu, konflik berkisar pada pemulihan tanah yang diambil tahun 1967, bukan berusaha membalikkan kondisi sebelum perang 1947-1949.
Titik balik itu menjadi jauh lebih jelas di arena politik selama tahun 1980-an. Para pemimpin Palestina berkumpul di Aljir, Aljazair, pada November 1988 untuk secara resmi mengakui Israel dan secara simbolis memproklamirkan negara Palestina di Tepi Barat dan Gaza.
Itu pertama kalinya solusi dua negara secara resmi diterima Palestina. Sejak saat itu pula, upaya untuk menyelesaikan konflik berdasarkan solusi dua negara telah diganggu oleh para ekstremis di kedua belah pihak, serta pertengkaran diplomatik terkait detail perjanjian.
Kini, saat perang antara Israel dan Hamas berkecamuk di Jalur Gaza, ide solusi dua negara itu muncul kembali. Gagasan tersebut sebetulnya menjadi kebijakan yang paling luas diterima secara internasional, meskipun orang-orang Israel dan Palestina kini semakin melihatnya sebagai sesuatu yang mustahil.
Sumber: internasional.kompas.com